Oleh: Syaikh Musthafa Masyhur
Salah satu penyakit hati terkait dakwah adalah bila seseorang merasa dirinya lebih berpengalaman, merasa lebih cerdas, lebih baik analisisnya terhadap setiap persoalan. Ia merasa lebih pintar tentang seluk-beluk perpolitikan dan cara melakukan perlawanan terhadap para musuh ketimbang orang lain. Ia merasa lebih super daripada yang lain. Menghina (meremehkan) peran orang lain. Meskipun mereka (orang yang diremenkannya) itu banyak berjasa dalam berdakwah.
Mereka itu kalau (berhasil) mewujudkan sesuatu kebaikan dalam dakwah, akan mengatakan, (bahwa) keberhasilan itu karena kemampuan dan kejeniusannya semata. Ia lupa akan karunia Allah, pertolongan, dan taufik-Nya. Hal itu mengingatkan kita pada sikap Qarun yang mengatakan,
قَالَ إِنَّمَآ أُوتِيتُهُۥ عَلَىٰ عِلۡمٍ عِندِيٓۚ … ٧٨
“Qarun berkata, ‘Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku…” (QS Al-Qashash [28]: 78).
Kami merasakan bahwa penyakit “ego sentris” juga dapat merusak dakwah. Mereka yang mengidap penyakit ini lebih suka mencari orang untuk menjadi pengikutnya sendiri daripada untuk menjadi pengikut jamaah. Hanya manusia-manusia setipe yang mau mendekatinya.
Kita hendaknya tidak mengikatkan diri dengan orang yang punya tipe tersebut. Meskipun mereka itu mempunyai kedudukan dan kelebihan. Karena itu merupakan sikap ular. Sedang ular sangat sulit dikendalikan bisanya.
Ketahuilah, orang yang berpenyakit seperti itu tidak mau mengakui dirinya berpenyakit. Kemungkian karena ketidaktahuannya atas keberhasilan tipu daya iblis kepadanya. Akibatnya, penyakitnya semakin parah. Kita berkewajiban menyadarkan orang lain untuk tidak mengikutinya.
Orang-orang tersebut kadang-kadang membenarkan sikap ambisi pribadinya, dengan dalih untuk kemaslahatan dakwah atau umat. Bukan untuk kepentingan pribadi. Misalnya, keikutsertaannya dalam satu pemerintahan thaghut, semata-mata untuk kepentingan Islam. Ia menganggap perbuatannya itu sebagai taktik dakwah. Bahkan ia menuduh orang lain terlalu picik dalam menilai kemaslahatan dakwah. Seandainya pun di situ ada kemaslahatan dakwah, apakah hanya diri mereka saja yang berhak menilai ?
Perlu diketahui, keberadaan mereka yang berwatak semacam itu dalam shaf, setelah tidak mau diperbaiki, lebih membahayakan ketimbang melakukan pembersihan shaf. Maka, tidak dapat diterima sikap sebagian orang yang dengan niat baik menoleransi mereka, karena khawatir terjadi perpecahan dan takut kehilangan potensi mereka. Akhirnya, dengan keberadaan mereka dalam shaf tidak hanya mereka yang dinilai menyimpang, tapi shaf tersebut juga menyimpang.
Sayyid Quthb mengatakan : Satu demi satu anggota jamaah diserang kerontokan. Mereka akan gugur seperti daun kering yang jatuh dari pohon besar. Kemudian musuh menggenggam salah satu ranting pohon tersebut disertai anggapan, dengan tercabutnya ranting tersebut akan dapat menghancurkan seluruh pohon, sehingga apabila telah tiba saatnya dan ranting pun dicabut, maka keluarlah dari genggamannya seperti kayu kering, tidak mati dan tidak pula hidup, sedangkan pohon tersebut tetap utuh.
Sumber: Musthafa Masyhur. Thariqud Da’wah bainal Asholah wal Inhirof (Prinsip dan Penyimpangan Gerakan Dakwah. Rabbani Press. 1992, hlm. 23-26.