“Jangan gunakan dalil, gunakan logika akal saja”. Ungkapan serupa atau senada sering kita jumpai saat berdiskusi tentang agama dan kehidupan dengan kaum liberal serta kaum yang tidak meyakini agama. Seringkali ditolak ketika menggunakan hadits dan siroh sebagai rujukan. Dengan alasan bahwa diskusi jika sudah membawa-bawa dalil, maka jadi tidak ilmiah serta mematikan logika.
Muncul anggapan bahwa agama ini tidak ilmiah. Dianggap sebagai ajaran doktrin saja yang mematikan akal. Karenanya, diskusi menggunakan hadits itu diskusi yang mematikan akal.
Logika ini nampak benar, tapi benarkah demikian?
Pertama kita lihat terlebih dahulu makna illmiah dalam KBBI.
il·mi·ah a bersifat ilmu; secara ilmu pengetahuan; memenuhi syarat (kaidah) ilmu pengetahuan: penerbitan majalah — berkembang dengan pesat;
Jika merujuk definisi tersebut, tentu saja hadits dan ilmu agama memenuhi definisi ilmiah. Karena dikaji oleh akademisi yang hidup dalam lingkungan ilmiah. Berapa banyak profesor yang dihasilkan dalam bidang ilmu agama? Berapa banyak mahasiswa yang menggeluti ilmu agama? Bukankah dalam dunia pendidikan tinggi kaidah ilmiah menjadi panduan baku dalam pendidikan? Berapa banyak tesis dan disertasi dan jurnal yang dihasilkan? Apakah dalam memperoleh gelar profesor, doktor tidak menggunakan kaidah ilmiah? Apakah tulisan yang dihasilkan oleh akademisi tidak ilmiah?
Dengan menjawab pertanyaan tersebut, kita paham bahwa ilmu agama dan dalil-dalil yang menyertainya diakui secara formal dunia masuk ke dalam kaidah-kaidah ilmiah.
Berikutnya, kita perlu memahami bagaimana hadits ini sampai kepada kita. Orang yang menganggap bahwa hadits ini tidak ilmiah, mungkin tidak memahami perihal hadits. Hadits merupakan perkataan dan perilaku rasulullah yang diverifikasi oleh ribuan peneliti. Dengan kerja keras yang luar biasa.
Hadits yang sampai kepada kita dapat dipertanggungjawabkan siapa yang menyampaikan. Orang per orang. Dalam hadits dikenal dengan sanad. Hadits ini disampaikan oleh penutur atau perawi terus menerus hingga menyambung ke Rasulullah dan dicantumkan secara lengkap dalam kitab-kitab hadits rujukan. Bisa dilacak apabila ada kelemahan seorang perawi mengingat syarat perawi sangat ketat untuk menjamin keaslian hadits tersebut. Sesuatu yang jarang kita temui dalam penelitian sejarah. Mengkaji lengkap rantai penutur. Tidak hanya siapa penuturnya, tetapi bahkan bagaimana kualitas pribadi sang penutur.
Penelusuran keaslian dan penelitian makna, ini semua menggunakan kaidah ilmiah. Mengutamakan prinsip kejujuran, kepercayaan, dan keaslian. Dilakukan dengan metode riset lapangan yang berkualitas.
Sebagai contoh, untuk meneliti satu hadits, Imam Bukhari harus berjalan ratusan kilometer untuk menemui perawi dari hadits tersebut dan membuktikan kebenarannya. Demi meneliti satu hadits. Maka tak heran Imam Bukhari membutuhkan waktu 16 tahun untuk menempatkan hadits yang shahih dalam kitab nya. Menyaring enam ratus ribu hadits menjadi hanya sekitar tujuh ribu hadits saja. Apakah hadits yang lainnya dianggap palsu? Tidak. Tetapi Imam Bukhari memiliki kriteria yang mungkin berbeda dengan ahli hadits lainnya.
Pertanyaannya kemudian, perkataan siapa di dunia ini selain Rasulullah yang diteliti dengan sangat detil hingga mencapai ratusan ribu hadits? Perkataan manusia mana yang diteliti dengan metode ilmiah sebanyak itu? Bahkan perkataan-perkataan filsuf terkemuka yang sering jadi rujukan dalam diskusi dan debat tidak bisa dilacak rantai penuturnya. Mengapa perkataan filsuf bisa dijadikan dasar, sedangkan perkataan Rasulullah yang diteliti sangat dalam tidak bisa dijadikan dasar dan tak ilmiah?
Dalam agama yang menjunjung kejujuran dan amanah, maka kaidah ilmiah dalam pengumpulan dalil itu menjadi wajib. Dan itu sudah dilakukan sebelum ilmu modern berkembang.
Berikutnya adalah tentang jargon “agama mematikan akal”, benarkah demikian?
Jika ini benar, maka tidak akan ada gelar profesor dan doktor dalam ilmu agama. Ternyata tidak demikian. Ilmu agama itu tidak mematikan akal. Justru memacu akal untuk terus berfikir dan meneliti. Sudah demikian banyak buku, kitab, tesis, disertasi, dan jurnal, yang ditulis dengan kaidah ilmiah, terpacu, dan didasari oleh agama. Apakah itu semua ditulis dengan akal yang mati?
Oleh: Widhãyaka