Oleh Ust. Abdullah Al Jirani
Jika seorang membeli hewan yang layak dijadikan kurban, misalnya kambing, dengan niat untuk dijadikan hewan kurban, tidak secara otomatis kambing tersebut jadi hewan kurban dengan sekedar dibeli. Imam An-Nawawi –rahimahullah- berkata :
المجموع شرح المهذب (8/ 383)
وَلَوْ اشْتَرَى بَدَنَةً أَوْ شَاةً تَصْلُحُ لِلتَّضْحِيَةِ بِنِيَّةِ التَّضْحِيَةِ أَوْ الْهَدْيِ لَمْ تَصِرْ بِمُجَرَّدِ الشِّرَاءِ ضَحِيَّةً وَلَا هَدْيًا هَذَا هُوَ الصَّوَابُ الَّذِي قَطَعَ بِهِ الْأَصْحَابُ فِي كُلِّ الطُّرُقِ
“Seandainya seorang membeli onta atau kambing dalam kondisi baik untuk dijadikan kurban dengan niat berkurban atau al-hadyu, tidak secara otomatis menjadi hewan kurban atau hadyu dengan semata-mata dibeli. Ini merupakan pendapat yang benar yang telah dipastikan oleh ashahab (para ulama’ Syafi’iyyah) dalam setiap jalan-jalan (periwayatan).” [Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 8/383].
Artinya, saat itu hewan yang dia beli masih sah menjadi miliknya dan belum keluar dari kepemilikannya. Sehingga kalau misalkan dia tidak jadi berkurban, maka tidak apa-apa. Lantas bagaimana jika sudah dita’yin (ditunjuk secara spesifik) akan dibeli dan dinyatakan untuk dikurbankan ? misal seorang mengatakan : Jika saya membeli kambing ini, saya akan jadikan kambing ini sebagai kurban. Dalam hal ini ada dua pendapat :
المجموع شرح المهذب (8/ 383)
فَلَوْ عَيَّنَ فَقَالَ إنْ اشْتَرَيْت هَذِهِ الشَّاةَ فَلِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أَجْعَلَهَا ضَحِيَّةً فَوَجْهَانِ (أَحَدُهُمَا) لَا يَلْزَمُهُ جَعْلُهَا ضَحِيَّةً تَغْلِيبًا لِحُكْمِ التَّعْيِينِ فَإِنَّهُ الْتَزَمَهَا قَبْلَ الْمِلْكِ وَالِالْتِزَامُ قَبْلَ الْمِلْكِ لَغْوٌ كَمَا لَوْ عَلَّقَ طَلَاقًا أَوْ عِتْقًا (وَالثَّانِي) يَلْزَمُهُ تَغْلِيبًا لِلنَّذْرِ وَالْأَوَّلُ أَقْيَسُ
“Seandainya seorang telah menta’yin (menunjuk secara spesifik) seraya mengatakan : Jika aku membeli kambing ini, maka aku akan menjadikannya hewan kurban, maka dalam hal ini ada dua pendapat : Pertama : Tidak harus baginya untuk menjadikannya sebagai hewan kurban sebagai bentuk taghlib (penyamaan) kepada hukum ta’yin (spesifik). Karena sesungguhnya dia mengharuskannya sebelum adanya kepemilikan. Dan pengharusan sebelum adanya kepemilikan, maka sia-sia, sebagaimana seadainya seorang mengikat talak dan pemerdekaan (dengan istri atau budak yang belum dia miliki). Kedua : Mengharuskannya sebagai bentuk penyamaan dengan nadzar. Dan pendapat kedua lebih sesuai dengan qiyas.”[Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 8/383].
Adapun jika hewan tersebut sudah kita miliki, kemudian kita ta’yin (ditunjuk secara spesifik) untuk dijadikan hewan kurban, maka hewan tersebut telah lepas dari kepemilikan kita dan statusnya telah menjadi hewan kurban. Misal seorang mengatakan : “Kambing saya yang ini saya kurbankan tahun ini !”.
Imam An-Nawawi –rahimahullah- berkata :
المجموع شرح المهذب (8/ 388)
وَلَوْ قَالَ جَعَلْتُ هَذِهِ الشَّاةَ ضَحِيَّةً فَوَقْتُهَا وَقْتُ الْمُتَطَوَّعِ بِهَا وَلَا يَحِلُّ تَأْخِيرُهَا فَإِنْ أَخَّرَهَا أَثِمَ وَلَزِمَهُ ذَبْحُهَا
“Seandainya seorang berkata : “Aku jadikan kambing ini sebagai kurban, waktunya waktu tathawwu’ dan tidak boleh untuk diakhirkan. Jika dia akhirkan, maka dia berdosa dan diharuskan baginya untuk menyembelihnya.” [Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 8/388].
Tapi jika kalimatnya “akan dikurbankan”, misal ucapan : Kambing ini insya Allah akan saya kurbankan”, maka belum lepas dari kepemilikan kita. Karena kalimat “akan dikurbankan” atau bahkan diiringi dengan kalimat “insya Allah”, menunjukkan masih dalam tahap rencana. Wallahu ‘alam bish shawab.
Semoga bermanfaat bagi kita sekalian. Barakallahu fiikum
sumber : blog Ust. Abdullah Al Jirani