Murabbiyahku Emak-Emak

199

(Buat para akhwat, yang ngaji ke para emak spesial).

Para aktivis dakwah muslimah yang berstatus emak-emak itu bagi saya luar biasa. Mereka rela berbagi waktu, tenaga, dan pikiran antara kewajibannya sebagai ibu rumah tangga, dengan kesibukan membina para akhwat di luar rumah.

Julukan “istri sholihah” seolah enggak cukup buat mereka, yang sering disempit-artikan sebagai ‘istri yang taat kepada suaminya, pakai hijab syar’i, shalatnya tepat waktu, rajin baca quran, selalu masak masakan buat keluarga, mendoakan suami yang sedang kerja, nyetrika dan nyuciin baju anak, serta bikinin teh kalo suaminya pulang’.

Mereka meluaskan makna sebagai ‘istri’ dengan berjihad membina kaum perempuan, mengajari baca Quran dan menanamkan nilai-nilainya kepada kaumnya, serta menjadi partner dakwah yang tak kalah trengginas dengan suaminya.

Ada diantara para emak, yang juga berkarir di profesinya. Mereka berdakwah di sana. Kalaupun tidak berkarir, mereka bukan pengangguran. Mereka menjadi pengurus RT/RW, ibu-ibu PKK, takmir masjid, komunitas lingkungan, dsb.

Murabbiyah emak-emak begini ‘terpanggil’ untuk mengalokasikan waktunya mengurus rumah tangga, guna mentarbiyah akhwat-akhwat muda yang lagi nyari jati diri dan memperbaiki pemahaman agamanya.

Dibalik kedatangan murabbiyah emak-emak hadir di majelis halaqah ilmu, ada kisah-kisah yang tidak nampak oleh mata, yang tak diketahui oleh para mutarabbinya itu.

Dua jam sebelum ngisi UPA, sang murabbiyah emak ini harus memastikan magic jar terisi nasi buat makan anak dan suami yang ditinggalkannya. Cucian sudah kelar, dan jemuran sudah diangkat, terutama bila mendung mendulang.

Waktu yang ada ia gunakan buat mengalihkan perhatian anak-anaknya yang kecil itu bermain, agar tidak rewel ditinggal ibunya. Kadang sang anak ditidurkan, lalu si emak mengendap-endap keluar rumah berangkat liqo.

Simak juga  Sebab-Sebab Turunnya Keberkahan

Teriris hati si emak, bila anaknya ditinggal, nangis sembari mengintip dari jendela memanggil-manggil nama ibunya. Tapi si emak tak punya, pilihan:

” Dakwah must go on”!

Siapa yang menjaga anaknya? Suaminya! Si bapak harus pulang kerja lebih awal, agar si emak bisa mempersiapkan keberangkatannya, kemudian menggantikan si emak jaga anak-anak.

Di sebalik materi Ma’rifatullah, Sabar, Keutamaan Al Quran, Syahadatayn, Fiqih Dasar, Hadits, Tazkiyatun Nafs, dan lain sebagainya yang sedang disampaikan si emak, ada tangis anaknya di seberang kilometer menanti si emak pulang.

Ada tumpukan setrikaan baju yang duduk manis. Ada adonan kue yang pending diteruskan karena waktu halaqah yang mepet.

Ada gaji si suami yang harus rela dipotong karena memperpendek jam kerjanya demi menggantikan si emak ngurus anak-anak mereka.

Ada salah seorang ummahat (istilah keren emak-emak aktivis dakwah) yang saya kenal, tetap mengisi UPA di pekan HPL-nya. “Ahh, melahirkan itu cepet kok,” pungkasnya sembari memilin pita rambut anak perempuannya yang ke-5.

Kalau besok ngisi UPA, maka jam 10 malam emak-emak buka buku dan mereview bacaan untuk disampaikan esok harinya. Kenapa begitu? Nunggu anak-anaknya tidur, dan nunggu sang suami tuntas mencurahkan isi pikirannya sebelum tidur.

Kalau ada jadwal tatsqif, dauroh, kajian, ta’lim, emak-emak murabbiyah ini menyempatkan nyatat materi yang dibawakan ustadz sembari matanya mengawasi polah krucil-krucilnya, telinganya waspada mengenali siapa yang nangis?

Anaknya atau anak orang lain, dan tangan kakinya sigap melindungi balita-balita agar tidak nyungsep dari tangga, atau terjerembab di kubangan becek.

Simak juga  Mengenal Ummu Abu Hurairah Ibunda Abu Hurairah RA

Emak yang lain ada yang sepeda motornya kecemplung selokan gara-gara banjir menutup jalanan, dan basah kuyup seluruh rok dan gamisnya, plus anak-anak kecil di dalam gendongannya, demi menempuh perjalanan menunaikan hak tarbiyah binaan.

Sedangkan si binaan mengirim pesan ke HP-nya :

“Afwan gak bisa dateng UPA mbak, depan rumah lagi hujan”

Belum selesai ujian perasaan ke para emak wonder woman ini, ehh, ada ustadz muda ngomong “UPA itu gak ada di zaman Rasulullah, isinya bukan ilmu agama, tapi ajakan revolusi”😬😬

Enggak salah kalo para emak murabbiyah jadi kepingin ngeruqyah itu ustadz yang asal nyablak.

Belum tahu the power of emak-emak tuh ustadz. Ngomong asal bunyi. 😜

Ada juga emak-emak yang mengisi UPA di kos-kosan binaannya jam 6 pagi (para mutarabbi adalah mahasiswi unyu-unyu) dan ada salah seorang peserta yang ngekosnya di tempat yang sama masih tidur kemudian dibangunkan oleh sang emak murabbi tersebut. “Dek, dek bangun, waktunya UPA ” sapa sang murabbiyah.

Udah gitu, si akhwat kesiangan itu bergegas bangun, mandi secepatnya, lalu masuk ke kamar kos tempat diselenggarakannya acara halaqah sembari berucap, “Afwan, ana ijin mau kuliah”….

Asyeeekkkk… 🙄

Para gadis jaman now, habis subuh seneng banget kembali meluk bantal dan selimut. Tidakkah mereka kuatir, saat nanti menjadi seorang ibu, apa jadinya jadwal sekolah anak-anak mereka bila waktu untuk menyiapkan sarapan, setrika seragam, mandiin anak, melayani suami, dan segudang aktivitas yang hanya bisa dikerjakan di pagi hari, hilang dengan molor ke tempat tidur?

Simak juga  Pembawa Kejayaan Akhir Zaman akan Datang dari Arah Timur

Mungkin belum terdengar ke telinga para akhwat shalihah nan imut ini kisah tentang ummahat di daerah, yang punya 14 anak, dan kesemuanya dibesarkan tanpa sentuhan asisten rumah tangga sama sekali! ☹️

Tidak usah jauh-jauh nonton Drakor, para perempuan super sabar, tabah, dan tangguh itu ada di dekat lingkungan mereka sendiri; lingkungan tarbiyah yang berhasil mencetak profil emak-emak patriotik, heroik, dan cinta agama-Nya.

Saya pernah dapat cerita, tentang para akhwat-akhwat muda yang ditinggal pergi rombongan rihlah dakwah, karena datang ke lokasi kumpul kesiangan. Jadwal jam 6 pagi berangkat, ehh, jam 7 dia baru sampai di lokasi ngumpul.

Tidakkah para akhwat muda itu malu, padahal dia hanya mengurus dirinya seorang? Sementara si emak-emak itu tidak hanya mengurus dirinya, tetapi juga suaminya, anak pertamanya, anak keduanya, dan seterusnya…

Kecenderungan untuk berleha-leha, sering dijumpai pada mereka yang punya kecukupan materi. Meski tidak selalu begitu. Para akhwat kinyis-kinyis ini lupa, bahwa semua fasilitas dan kemudahan hidup berkuliah ini hanyalah titipan dari Allah melalui orang tua mereka. Saat mereka menjadi ibu bagi anak-anaknya, masihkah dia berharap kenikmatan hidup serba berkecukupan itu selalu menetap pada dirinya?

Kamu, akhwat tertarbiyah, tapi hobi banget telat hadir UPA? Sebaiknya kamu sadar, murabbiyahmu yang emak-emak ini ninggalin keluarganya dengan sejuta kerempongan yang tidak diceritakannya kepadamu.

Jodoh ingin tepat, tapi UPA selalu dateng telat…

Semoga Allah mengistiqomahkan kita semua untuk tetap hadir dalam Lingkaran UPA ini tepat waktu dan konsisten hingga maut menjemput.

Comments

comments